Subscribe:

Selasa, 14 September 2010

Teman SMP

Ketika baru masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), aku sangat senang karena aku memiliki banyak teman baru. Salah satu temanku bernama Hozaimah, dia adalah anak yang baik dan ramah. Selain itu, dia juga anak yang pintar. Terbukti, tiap pelajaran di kelas dia selalu aktif. Tiap ulangan, dia juga selalu mendapatkan nilai yang tinggi.



Suatu ketika, aku bermaksud untuk bermain ke rumahnya. Dengan maksud agar lebih akrab dengannya. Saat aku tiba di rumahnya, aku sangat terkejut. Rumah Hozaimah sangat sederhana bahkan amat sangat sederana. Rumahnya terbuat dari bambu yang sudah sangat usang. Ketika aku memasuki kamarnya, aku semakin kasihan padanya, ternyata tempat tidurnya hanya beralaskan tikar dan tempat tidurnya terbuat dari bambu, tidak ada kasur. Lantai rumahnya juga tanah, tidak ada tegel apalagi keramik.
Bertambah kagumlah aku pada sosok temanku ini, dia memiliki semangat belajar yang sangat tinggi. Bayangkan saja, tiap hari dia harus menempuh jarak 10 Km pulang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Selain itu, karena dia berasal dari keluarga yang kurang mampu, dia harus membantu orang tuanya di sawah tiap pulang sekolah. Belum lagi apabila sudah tiba musim tembakau, malam haripun dia juga harus bekerja memebantu orang tuanya. Meski sesibuk itu, dia tetap saja dapat mempertahankan prestasi belajarnya.
Setelah lulus SMP, aku kehilangan komunikasi dengannya karena aku memilki urusan dan diapun juga memilki urusan lain. Aku baru bisa bertemu dengannya ketika aku akan berangkat ke IPB. Aku sangat terkejut ketika aku melihat seorang perempuan menggendong anak kecil memanggilku, ternyata dia adalah Hozaimah, teman SMPku dulu. Sekarang dia sudah memilki seorang anak. Dia bercerita bahwa dia tidak dapat melanjutkan sekolah karena orang tuanya tidak memiliki biaya untuk menyekolahkannya. Setelah lulus SMP, orang tuanya menjodohkannya dengan pemuda yang berasal dari Desa yang sama dengannya, sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, dia menyetujui perjodohan itu. Namun, sayangnya orang yang menjadi suaminya hanyalah seorang lulusan SMA. Sehingga tiap hari, pekerjaan suaminya hanyalah sebagai penjaga bengkel. Penghasilan suaminya tidaklah seberapa, sehingga dia harus membantu dengan cara mengembala sapi milik tetangganya.
Aku sangat sedih melihat nasib temanku ini. Karena keterbatasan biaya, dia tidak dapat melanjutkan sekolah dan harus dewasa sebelum waktunya. Namun, ada satu hal yang membuatku tetap menyimpan kekaguman pada dirinya, yakni meskipun dia harus melalui hidup yang tidak mudah dia tetap terlihat bersemangat dan keceriaan tetap terpancar dari wajahnya. Dia tetap menikmati dunia yang dia lalui dengan caranya sendiri. Hidup sulit tidak lantas membuatnya menyesali nasib, namun dia mampu melihat sisi positif dari hal yang menurut orang lain sulit.

0 komentar:

Posting Komentar